Senin, 16 Januari 2012

Pertukaran dan PJJ Mahasiswa Perhotelan


JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia merintis kerja sama dengan Thailand di bidang pendidikan perhotelan dan pariwisata. Program kerja sama ini meliputi magang, pertukaran mahasiswa, dan kursus singkat online.

Pusat Pendidikan Terbuka Jarak Jauh Asia Tenggara atau Southeast Ministers of Education Organization Regional Open Learning Centre (SEAMEO-SEAMOLEC) bekerjasama dengan STP Sahid Jakarta dan Politeknik Negeri Bali merintis kerja sama dengan institusi pendidikan di Thailand yaitu Prince of Songkhla University Phuket Campus, Phuket Vocational College, dan Songkhla Vocational College di bidang perhotelan dan pariwisata.

Direktur SEAMOLEC Gatot Hari Priowirjanto mengungkapkan, pihaknya mempunyai tugas untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Hal ini dilakukan dengan memfasilitasi sinergi lembaga pendidikan dengan sistem pembelajaran jarak jauh supaya terjadi persamaan di antarnegara.

Menurut Gatot, pihaknya saat ini telah melakukan kerja sama Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) dengan Kamboja, Vietnam, Malaysia dan Filipina. Ia mengatakan, dalam waktu dekat akan diadakan kerja sama PJJ dengan India. Tengah disiapkan pula PJJ untuk anak-anak karyawan Kedutaan Besar RI di negara kawasan Eropa selama lima tahun mendatang.

"Diharapkan masyarakat Indonesia bisa mendapatkan fasilitas pendidikan jarak jauh," kata Gatot, Kamis (25/8/2011), di Jakarta.

Rencananya, dalam kerjasama ini akan digelar program magang dan pertukaran pelajar antara Prince of Songkhla University dengan STP Sahid dan Politeknik Negeri Bali di beberapa bidang tourism management seperti front office dan house keeping. Prince of Songkhla University akan mengirimkan sebanyak 12 mahasiswanya ke STP Sahid dan Politeknik Negeri Bali pada tahun ini begitu juga sebaliknya. STP Sahid dan Politeknik Negeri Bali akan mengirimkan masing-masing enam mahasiswanya ke Prince of Songkhla University Phuket Campus.

Semua pembiayaan selama belajar akan dibebaskan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Masing-masing pihak akan menyediakan dormitory untuk para mahasiswa, juga bertanggungjawab untuk membuat instrument monitoring, supervisi, dan evaluasi sesuai dengan standar masing-masing institusi. Dalam hal ini, host partner bertanggungjawab untuk mensupervisi siswa yang ada dalam program tersebut dengan menggunakan instrument yang telah dibuat.

Adapun, program kerja sama dengan Phuket Vocational College dan Songkhla Vocational College adalah di bidang food production dan food service. Selain pertukaran pelajar, pihak Thailand juga menginginkan ada pertukaran pengajar. Meski begitu, sampai saat ini belum ada keputusan mengenai jumlah pertukaran pelajar dan pengajar tersebut.

”Diharapkan, lulusan D2 di Phuket Vocational College yang ingin melanjutkan ke S1/D4 STP Sahid dimungkinkan dengan program transfer kredit. Kemudahan transfer ini karena program pariwisata sudah memiliki standar kurikulum tingkat ASEAN. Selama di Indonesia, mereka akan mengikuti program Darmasiswa untuk belajar bahasa dan budaya Indonesia. Para calon peserta mulai dikirim pada Februari tahun depan,” kata Kusmayadi, Ketua STP Sahid.

Guna mendukung kerja sama ini, para mahasiswa akan difasilitasi dengan mengintegrasikan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) secara sistematis. Salah satunya adalah melakukan sistem supervisi dan pelaporan dari siswa dengan blog diintegrasikan dengan video, yang memperlihatkan aktivitas belajar maupun saat praktik kerja di Indonesia.

Selain itu, para siswa dan dosen dapat melaporkan secara lisan dalam bentuk video streaming. Di dalam blog tersebut juga dimungkinkan akan adanya dosen tamu (guest lecturing) dari masing-masing institusi dengan metode video lecturing streaming.

”Bentuk kerja sama lain yang dijalin adalah merintis pembuatan kursus singkat online untuk bidang fruits & vegetables carving. Bidang ini menarik dipelajari dan banyak sekali masyarakat Indonesia yang pernah berkunjung ke Thailand tertarik untuk mengikutinya,” kata Kusmayadi. Ia menjelaskan, detil kerja sama akan dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman bersama (MoU) dan implementasinya akan dimulai pada Oktober mendatang.

“Diharapkan rintisan kerja sama ini menjadi embrio kerja sama lebih lanjut untuk program transfer kredit dan dual degree antara institusi yang terlibat,” ujarnya.

Indonesia Ajak Cina Kerjasama Perdagangan Obat Tradisional


BEIJING, MINGGU - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak China untuk menjalin kerja sama perdagangan obat tradisional. Dalam pidatonya ketika berkunjung ke Beijing University School of Medicine (BUCM) di Beijing, Minggu (26/10), Presiden Yudhoyono mengatakan obat-obatan tradisional tersebut dapat menjadi sumber ekonomi baru.

"Usaha ini memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat termasuk usaha kecil dan menengah. Kalau pengobatan tradisional ini dapat dikembangkan, maka rakyat mendapatkan keuntungan," ujarnya.

Obat-obatan tradisional itu, menurut Presiden, memiliki potensi ekonomi besar karena dapat dipasarkan secara lokal maupun global. "Nilainya sangat besar sehingga kalau kita kembangkan dapat meningkatkan ekonomi kita, baik Tiongkok maupun ekonomi Indonesia," ujarnya.

Presiden juga mengajak China melakukan kerja sama penelitian dan pengembangan pengobatan tradisional. Indonesia, lanjut dia, memiliki kekayaan alam besar sebagai sumber obat-obatan tradisional.

"Iklim tropis dan kekayaan hutan flora dan fauna jadi sumber yang besar dari obat-obatan tradisional. Saya yakin Tiongkok juga miliki sumber-sumber besar pengobatan tradisional ini. Mari semua itu kita satukan dalam kerjasama baik untuk kepentingan kedua negara," tutur Presiden.

Presiden Yudhoyono menjelaskan Indonesia telah merumuskan kebijakan yang sinergis antara Departemen Kesehatan dan Departemen Perdagangan agar obat-obatan tradisional dapat berkembang.

Indonesia, menurut Presiden, memiliki kebijakan yang sejak awal tidak membenturkan pengobatan barat dan timur. Presiden Yudhoyono memberikan pidato di depan para dosen dan puluhan mahasiswa BUCM, termasuk mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di perguruan tinggi tersebut.

Dalam kunjungan ke universitas tersebut, Presiden didampingi sejumlah menteri seperti Menkopolhukam Widodo AS, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Menteri Perdagangan Mari Pangestu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Meneg BUMN Sofyan Djalil.

Turut pula dalam kunjungan tersebut Rektor Universitas Indonesia (UI) Gumilar Rusliwa Somantri, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Suhardyanto, Wakil Rektor II Universitas Airlangga Muslich Ansori, Ketua Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Suryo Guritno, Kepala Pusat Studi Biofarmaka IPB Latifah K Darusman, Presiden Direktur PT Sanbe Farma Jahja Santoso, dan pengusaha Martha Tilaar.

Merajut Hubungan RI-Australia

Kamis, 02 September 2010

Oleh BM Lukita Grahadyarini

Sebagai negara tetangga, tidak mudah mendorong hubungan ekonomi Australia-Indonesia. Problem iklim investasi Indonesia menjadi salah satu alasan para investor dari Negeri Kangguru itu belum sungguh-sungguh melirik Indonesia sebagai sasaran investasi.

Dalam diskusi ”Capturing the Opportunity in Indonesia” di Hayman Island, Brisbane, Australia, 28 Agustus 2010, pertanyaan seputar kredibilitas ekonomi dan politik Indonesia menjadi topik peserta diskusi. Peserta diskusi mayoritas berasal dari perguruan tinggi dan perusahaan ternama di Australia.

Beragam pertanyaan bermunculan terkait komitmen Indonesia untuk mendorong kemudahan izin usaha dengan biaya lebih murah. Kemudahan pembebasan tanah dan cara mengatasi birokrasi yang korup.

Peserta menanyakan kemampuan perusahaan Indonesia menjadi perusahaan berskala global dan memenangi persaingan. Keraguan Australia terhadap Indonesia itu memengaruhi investasi dari negeri itu dalam satu dasawarsa terakhir.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, selama periode 2001-2009, nilai investasi Australia ke Indonesia 700,4 juta dollar AS. Australia menempati peringkat ke-12 dalam daftar negara yang berinvestasi di Indonesia. Di tingkat Asia, Australia memusatkan investasinya di India dan China.

Tahun 2009, total perdagangan Indonesia-Australia 6,7 miliar dollar AS atau tumbuh 18 persen dalam lima tahun terakhir. Namun, nilai itu tergolong kecil dibandingkan transaksi perdagangan Australia dengan negara-negara Asia lainnya, seperti China dan Jepang.

Komoditas utama yang diekspor ke Australia adalah emas, poliasetal, kayu, kertas, dan ban. Adapun komoditas impor dari Australia adalah susu, daging, keju, dan pakan. Tahun 2009, impor terbesar Australia berasal dari China (17,94 persen), AS (11,26 persen), Jepang (8,36 persen), Thailand (5,81 persen), dan Singapura (5,54 persen).

Adapun partner ekspor terbesar Australia adalah China (21,81 persen), Jepang (19,19 persen), Korea Selatan (7,88 persen), dan India (7,51 persen).

Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dalam diskusi itu, mengatakan, persepsi negatif sebagian masyarakat Australia tak lepas dari perjalanan masa lalu Indonesia sebagai negara otoriter, korupsi, dan pola pembangunan sentralistik.

Problem itu secara bertahap mulai dibenahi seiring perubahan format politik Indonesia pasca-Presiden Soeharto tahun 1998. Penerapan desentralisasi sejak tahun 2001 memberikan otoritas kepada daerah untuk memutuskan sendiri kebijakan fiskal dan moneter.

Pemilihan langsung kepala daerah memberikan ruang gerak bagi rakyat untuk mencari figur pemimpin lokal. Tuntutan pada figur pemimpin yang bukan hanya mampu berwacana, tetapi juga memiliki program pembangunan yang riil dan imbal balik bagi pengembangan daerah.

Diakui, di tengah upaya itu, masih ada isu mendasar yang hingga kini belum terpecahkan. ”Perbaikan infrastruktur, sistem kesehatan, dan kualitas pendidikan yang baik untuk rakyat mutlak dibutuhkan. Saya belum melihat partai-partai politik di pemerintahan menjawab isu-isu itu secara jelas dan menjadi agenda politik,” ujar Anies.

Kepala BKPM Gita Wirjawan membenarkan Indonesia masih menghadapi persoalan korupsi dan birokrasi yang rumit. Investasi masih terhambat infrastruktur yang minim dan hambatan pembebasan lahan. Padahal, tanpa infrastruktur, sulit membangun pabrik.

Gita mengibaratkan Indonesia sebagai negara yang sedang merayap. ”Ketika mulai merayap, maka bisa berjalan dan berlari. Kita tidak bisa menghasilkan perusahaan global sekarang, tetapi itu bukan tak bisa dicapai. Semua perlu waktu,” katanya.

Kekurangan finansial, rendahnya akses permodalan di dalam negeri, dan hambatan infrastruktur, menurut Gita, sudah saatnya disikapi dengan mendorong investasi asing.

Indonesia dengan jumlah penduduk 240 juta orang, 60 persen di antaranya berumur kurang dari 39 tahun, adalah basis tenaga kerja yang potensial. Belum lagi, kekayaan sumber daya, seperti pertanian dan pertambangan, yang berpeluang membawa nilai tambah jika diolah optimal. Indonesia juga memiliki posisi geografis strategis pada jalur internasional.

Adapun Australia, dengan PDB nominal 997,2 miliar dollar AS menduduki peringkat ekonomi ke-13 dunia. Industri utama Australia adalah pertambangan, perlengkapan transportasi dan industri, pengolahan pangan, kimia, serta baja.

Tahun 2009, investasi terbesar Australia di Indonesia di sektor pertambangan dan konstruksi adalah 246,77 juta dollar AS dan 192,78 juta dollar AS.

”Upaya meningkatkan investasi dan hubungan dagang Indonesia-Australia harus dimulai dari perbaikan pemahaman. Kini saat yang tepat untuk meningkatkan kerja sama yang lebih baik,” ujar Gita.

Imbal balik

Partner, McKinsey and Company, Benjamin Soemartopo, menilai potensi yang dimiliki Indonesia merupakan peluang investasi bagi Australia. Beberapa sektor nonsumber daya alam yang berpotensi digarap adalah pendidikan dan kesehatan.

Jumlah penduduk Indonesia yang belajar di Australia saat ini 16.000 orang. Ini membuka peluang bagi Australia untuk mendirikan cabang perguruan tinggi di Indonesia.

Di bidang kesehatan, kebutuhan akan layanan kesehatan bermutu di Indonesia tergolong besar. Australia memiliki sistem kesehatan yang maju sehingga berpeluang membangun rumah sakit dan melatih tenaga kesehatan Indonesia untuk mengisi kekurangan tenaga kerja kesehatan di Australia.

Untuk itu, pemerintah lokal harus diperkuat, daerah harus disiapkan agar dapat menjamin kemudahan investasi, sehingga investor tertarik.

Gita menegaskan, Indonesia bukan lagi dalam kapasitas mencari investor dalam jangka pendek, tetapi investor yang bersedia menanamkan modal dalam 10-20 tahun mendatang.

Karena itu, pihaknya akan merekomendasikan kelompok bisnis yang dinilai kredibel untuk bermitra dengan swasta asing. Hal serupa itu telah diterapkan dengan investor asal Amerika Serikat dan Eropa.

Saat ini ada tujuh provinsi yang dijadikan prioritas investasi, yakni Riau, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Papua, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur.

Indonesia, kata Benjamin, harus bisa memetik manfaat dari kerja sama investasi. ”Hubungan kerja sama ekonomi Indonesia-Australia harus memberi imbal balik bagi penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah produk,” ujarnya. Dengan cara itu, kerja sama investasi akan berdaya guna bagi masyarakat.

Sumber: Kompas