Senin, 16 Januari 2012

Merajut Hubungan RI-Australia

Kamis, 02 September 2010

Oleh BM Lukita Grahadyarini

Sebagai negara tetangga, tidak mudah mendorong hubungan ekonomi Australia-Indonesia. Problem iklim investasi Indonesia menjadi salah satu alasan para investor dari Negeri Kangguru itu belum sungguh-sungguh melirik Indonesia sebagai sasaran investasi.

Dalam diskusi ”Capturing the Opportunity in Indonesia” di Hayman Island, Brisbane, Australia, 28 Agustus 2010, pertanyaan seputar kredibilitas ekonomi dan politik Indonesia menjadi topik peserta diskusi. Peserta diskusi mayoritas berasal dari perguruan tinggi dan perusahaan ternama di Australia.

Beragam pertanyaan bermunculan terkait komitmen Indonesia untuk mendorong kemudahan izin usaha dengan biaya lebih murah. Kemudahan pembebasan tanah dan cara mengatasi birokrasi yang korup.

Peserta menanyakan kemampuan perusahaan Indonesia menjadi perusahaan berskala global dan memenangi persaingan. Keraguan Australia terhadap Indonesia itu memengaruhi investasi dari negeri itu dalam satu dasawarsa terakhir.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, selama periode 2001-2009, nilai investasi Australia ke Indonesia 700,4 juta dollar AS. Australia menempati peringkat ke-12 dalam daftar negara yang berinvestasi di Indonesia. Di tingkat Asia, Australia memusatkan investasinya di India dan China.

Tahun 2009, total perdagangan Indonesia-Australia 6,7 miliar dollar AS atau tumbuh 18 persen dalam lima tahun terakhir. Namun, nilai itu tergolong kecil dibandingkan transaksi perdagangan Australia dengan negara-negara Asia lainnya, seperti China dan Jepang.

Komoditas utama yang diekspor ke Australia adalah emas, poliasetal, kayu, kertas, dan ban. Adapun komoditas impor dari Australia adalah susu, daging, keju, dan pakan. Tahun 2009, impor terbesar Australia berasal dari China (17,94 persen), AS (11,26 persen), Jepang (8,36 persen), Thailand (5,81 persen), dan Singapura (5,54 persen).

Adapun partner ekspor terbesar Australia adalah China (21,81 persen), Jepang (19,19 persen), Korea Selatan (7,88 persen), dan India (7,51 persen).

Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dalam diskusi itu, mengatakan, persepsi negatif sebagian masyarakat Australia tak lepas dari perjalanan masa lalu Indonesia sebagai negara otoriter, korupsi, dan pola pembangunan sentralistik.

Problem itu secara bertahap mulai dibenahi seiring perubahan format politik Indonesia pasca-Presiden Soeharto tahun 1998. Penerapan desentralisasi sejak tahun 2001 memberikan otoritas kepada daerah untuk memutuskan sendiri kebijakan fiskal dan moneter.

Pemilihan langsung kepala daerah memberikan ruang gerak bagi rakyat untuk mencari figur pemimpin lokal. Tuntutan pada figur pemimpin yang bukan hanya mampu berwacana, tetapi juga memiliki program pembangunan yang riil dan imbal balik bagi pengembangan daerah.

Diakui, di tengah upaya itu, masih ada isu mendasar yang hingga kini belum terpecahkan. ”Perbaikan infrastruktur, sistem kesehatan, dan kualitas pendidikan yang baik untuk rakyat mutlak dibutuhkan. Saya belum melihat partai-partai politik di pemerintahan menjawab isu-isu itu secara jelas dan menjadi agenda politik,” ujar Anies.

Kepala BKPM Gita Wirjawan membenarkan Indonesia masih menghadapi persoalan korupsi dan birokrasi yang rumit. Investasi masih terhambat infrastruktur yang minim dan hambatan pembebasan lahan. Padahal, tanpa infrastruktur, sulit membangun pabrik.

Gita mengibaratkan Indonesia sebagai negara yang sedang merayap. ”Ketika mulai merayap, maka bisa berjalan dan berlari. Kita tidak bisa menghasilkan perusahaan global sekarang, tetapi itu bukan tak bisa dicapai. Semua perlu waktu,” katanya.

Kekurangan finansial, rendahnya akses permodalan di dalam negeri, dan hambatan infrastruktur, menurut Gita, sudah saatnya disikapi dengan mendorong investasi asing.

Indonesia dengan jumlah penduduk 240 juta orang, 60 persen di antaranya berumur kurang dari 39 tahun, adalah basis tenaga kerja yang potensial. Belum lagi, kekayaan sumber daya, seperti pertanian dan pertambangan, yang berpeluang membawa nilai tambah jika diolah optimal. Indonesia juga memiliki posisi geografis strategis pada jalur internasional.

Adapun Australia, dengan PDB nominal 997,2 miliar dollar AS menduduki peringkat ekonomi ke-13 dunia. Industri utama Australia adalah pertambangan, perlengkapan transportasi dan industri, pengolahan pangan, kimia, serta baja.

Tahun 2009, investasi terbesar Australia di Indonesia di sektor pertambangan dan konstruksi adalah 246,77 juta dollar AS dan 192,78 juta dollar AS.

”Upaya meningkatkan investasi dan hubungan dagang Indonesia-Australia harus dimulai dari perbaikan pemahaman. Kini saat yang tepat untuk meningkatkan kerja sama yang lebih baik,” ujar Gita.

Imbal balik

Partner, McKinsey and Company, Benjamin Soemartopo, menilai potensi yang dimiliki Indonesia merupakan peluang investasi bagi Australia. Beberapa sektor nonsumber daya alam yang berpotensi digarap adalah pendidikan dan kesehatan.

Jumlah penduduk Indonesia yang belajar di Australia saat ini 16.000 orang. Ini membuka peluang bagi Australia untuk mendirikan cabang perguruan tinggi di Indonesia.

Di bidang kesehatan, kebutuhan akan layanan kesehatan bermutu di Indonesia tergolong besar. Australia memiliki sistem kesehatan yang maju sehingga berpeluang membangun rumah sakit dan melatih tenaga kesehatan Indonesia untuk mengisi kekurangan tenaga kerja kesehatan di Australia.

Untuk itu, pemerintah lokal harus diperkuat, daerah harus disiapkan agar dapat menjamin kemudahan investasi, sehingga investor tertarik.

Gita menegaskan, Indonesia bukan lagi dalam kapasitas mencari investor dalam jangka pendek, tetapi investor yang bersedia menanamkan modal dalam 10-20 tahun mendatang.

Karena itu, pihaknya akan merekomendasikan kelompok bisnis yang dinilai kredibel untuk bermitra dengan swasta asing. Hal serupa itu telah diterapkan dengan investor asal Amerika Serikat dan Eropa.

Saat ini ada tujuh provinsi yang dijadikan prioritas investasi, yakni Riau, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Papua, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur.

Indonesia, kata Benjamin, harus bisa memetik manfaat dari kerja sama investasi. ”Hubungan kerja sama ekonomi Indonesia-Australia harus memberi imbal balik bagi penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah produk,” ujarnya. Dengan cara itu, kerja sama investasi akan berdaya guna bagi masyarakat.

Sumber: Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar